Bersama Bupati beserta ibu setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H

Bersama Bupati beserta ibu setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1435 H

Jumat, 30 Mei 2014

Menjawab Salam

Di salah satu acara taushiyah yang disiarkan TV, sang ustad menjelaskan bahwa jika ada orang yg berbicara sblm salam, kmd dia menyampaikan salam maka salamnya tdk perlu dijawab. Apa benar demikian? Rasanya kok aneh..
Trima ksh
Subar, Sleman
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Terdapat hadis yang mengisyaratkan demikian, bahwa orang yang berbicara sebelum salam, maka tidak perlu dijawab. Hadis itu menyatakan,
من بدأ بالكلام قبل السلام فلا تجيبوه
”Siapa yang memulai bicara sebelum salam maka janganlah kalian menjawabnya.”
Keterangan hadis:
Ada dua catatan tentang hadis ini,
Pertama, tentang status kekuatan hadis,
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dalam amal al-yaum wa lailah no.212 dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah (8/199), dari jalur Baqiyah bin Walid dari Abdul Aziz bin Abi Rawad dari Nafi.
Bagaimana komentar ahli hadis dengan sanad ini?
Imam Abu Hatim ar-Razi mengatakan,
هذا حديث باطل ، ليس من حديث ابن أبي رواد
“Ini hadis bathil, bukan hadisnya Ibnu Abi Rawad.” (al-Ilal, 2/294).
Kemudian, Ibnu Abi Hatim menukil keterangan Abu Zur’ah – ulama besar ahli hadis, gurunya Muslim, Turmudzi, Nasai dan ulama lainnya – (w. 264 H),
Abu Zur’ah ditanya tentang hadis yang diriwayatkan Abu Taqi, dari Baqiyah, dari Abdul Aziz bin Abi Rawad, bahwa siapa yang bicara sebelum salam maka jangan dijawab. Kata Abu Zur’ah,
قال أبو زرعة : هذا حديث ليس له أصل ؛ لم يسمع بقية هذا الحديث من عبدالعزيز إنما هو عن أهل حمص ، وأهل حمص لا يميزون هذا
Hadis ini tidak ada asalnya. Baqiyah tidak pernah mendengar hadis ini dari Abdul Aziz. Namun dia dengar hadis ini dari penduduk Hims. Dan penduduk Hims tidak bisa membedakan hadis. (al-Ilal, 2/331).
Dalam ilmu mushtolah hadis, pada kasus di atas, perowi yang bernama Baqiyah bin Walid melakukan tadlis taswiyah, menyembunyikan sama sekali satu jalur perawi, agar hadis ini dikesankan shahih. Seharusnya, jalur normalnya: dari baqiyah dari seorang penduduk Hims, dari Abdul Aziz bin Abi Rawad.
Namun oleh Baqiyah, posisi penduduk Hims dihilangkan. Jadinya, dari Baqiyah dari Abdul Azin bin Abi Rawad. Adanya cacat semacam ini, menyebabkan hadis itu berstatus dhaif.
Kedua, tentang makna hadis,
Jika kita perhatikan redaksi hadis di atas, sejatinya tidaklah secara tegas menunjukkan bahwa salam orang yang sudah mulai bicara, tidak perlu dibalas. Karena kata, ’janganlah kalian menjawabnya’ bisa kembali kepada salamnya atau bisa juga kembali kepada pembicaraannya. Sehingga hadis ini memiliki 2 kemungkinan makna,
a. Jangan kamu jawab salamnya
b. Jangan kamu respon pembicaraannya, hingga dia mengucapkan salam.
Dari dua kemungkinan makna di atas, makna kedua yang lebih benar. Karena dalam riwayat lain, terdapat redaksi yang semakna dengan hadis ini, yang menyatakan,
السلام قبل السؤال، فمن بدأكم بالسؤال قبل السلام فلا تجيبوه
”Salam itu sebelum bertanya. Siapa yang memulai tanya sebelum salam, jangan kalian jawab.” (HR. Ibnu Adi dalam al-Kamil, 2/303).
Dan hadia ini statusnya dhaif, karena dalam jalur sanadnya terdapat perawi bernama Hafs bin Umar yang dinilai pendusta oleh Abu Hatim.
Meskipun sama-sama dhaif, namun pelajaran dari hadis kedua ini adalah menjelaskan maksud dari hadis pertama. Sehingga andaipunhadis pertama itu bisa diterima, maknanya tidaklah menunjukkan larangan menjawab salam bagi orang yang telah mendahuluinya dengan ucapan.
Salam Sebelum Kalam
Salam sebelum bicara, itulah adab yang lebih baik. Meskipun hadis yang menganjurkan hal ini statusnya munkar. Hadis tersebut menyatakan,
السَّلَامُ قَبْلَ الكَلَامِ
”Salam sebelum kalam (bicara).”
Hadis ini diriwayatkan Turmudzi dalam Jami’nya no. 2699 dari jalur Anbasah bin Abdurrahman dari Muhammad bin Zadan.
Setelah membawakan hadis ini, Imam at-Turmudzi mengatakan,
هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الوَجْهِ؛ سَمِعْتُ مُحَمَّدًا، يَقُولُ: عَنْبَسَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ضَعِيفٌ فِي الحَدِيثِ ذَاهِبٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ زَاذَانَ مُنْكَرُ الحَدِيثِ
Hadis ini munkar, kami tidak mengetahuinya selain dari jalur ini. saya mendengar Muhammad (Imam Bukhari – gurunya Turmudzi) mengatakan,
’Anbasah bin Abdurrahman dhaif dalam hadis, pencuri hadis (tertuduh berdusta), sementara Muhammad bin Zadan, munkarul hadis.’ (Jami’ at-Turmudzi, 5/59).
Hadis ini dimasukkan oleh al-Albani dalam daftar hadis palsu. (simak ad-Dhaifah no. 1736).
Allahu a’lam

Bersin dan Menguap

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,‎
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‎
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ العُطَاسَ، وَيَكْرَهُ التَّثَاؤُبَ، فَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ، فَحَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ سَمِعَهُ أَنْ يُشَمِّتَهُ، وَأَمَّا ‏التَّثَاؤُبُ: فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ
‎”Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika ada di antara kalian yang bersin lalu ‎mengucap hamdalah, maka setiap Muslim yang mendengarnya wajib menjawabnya. Sedangkan menguap ‎sesungguhnya berasal dari setan, maka tahanlah semampunya. Dan bila ia mengatakan ‘haaahh’, maka setan ‎akan tertawa.” (HR. Bukhari No. 6223).  ‎
Mengapa Allah menyukai bersin dan membenci menguap? Al-Khatthabi mengatakan, sifat suka dan ‎benci terpulang kepada sebabnya. Bersin disebabkan oleh kondisi tubuh yang enteng, terbukanya ‎pori-pori, dan perut yang tidak kenyang. Sebaliknya, menguap terjadi karena kondisi tubuh yang ‎berat akibat konsumsi makanan yang berlebihan dan beraneka ragam. Kondisi yang pertama ‎menjadikan pelakunya bersemangat dalam ibadah, sedangkan kondisi yang kedua sebaliknya.‎
Adapun menurut kedokteran modern, menguap terjadi karena otak dan tubuh memerlukan oksigen ‎dan nutrisi. Hal ini dipicu menurunnya kinerja sistem pernapasan dalam menyuplai oksigen ke otak ‎dan tubuh. Sama halnya dengan orang yang mengantuk, pingsan, dan sekarat.‎
Menguap adalah tarikan napas yang dalam melalui rongga mulut. Sedangkan mulut sendiri tidak ‎diciptakan sebagai alat pernapasan alami. Hal ini karena mulut tidak dilengkapi dengan sistem ‎penyaring udara sebagaimana pada hidung. Jika mulut terbuka lebar saat menguap, masuklah ‎berbagai mikroba, debu, dan polutan bersama udara yang terhirup. Jadi, pantaslah bila menguap ‎dinisbatkkan kepada setan, karena ia membawa madharat bagi manusia.‎
Sebab itulah, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menahannya sebisa mungkin. ‎Atau menutup mulut dengan tangan saat menguap. (HR. Tirmidzi dengan derajat hasan sahih)‎
Sedangkan bersin adalah kebalikan dari menguap. Serangannya yang bersifat kuat dan mendadak, ‎menghembuskan udara bertekanan tinggi dari paru-paru melalui hidung dan mulut. Hembusan tadi ‎ikut menyeret mikroba, debu, dan polutan yang sempat masuk ke sistem pernapasan. Manfaat lain ‎dari bersin ialah sebagai refreshing. Kejutan yang dirasakan saat bersin akan menyegarkan urat-urat ‎syaraf dan memulihkan konsentrasi. Sebab itulah, pantas sekali jika bersin dinisbatkan kepada Allah, ‎karena ia mengandung manfaat bagi badan.‎
Berangkat dari sini, kita diperintahkan untuk bersyukur dengan mengucap hamdalah setelah bersin. ‎Dan bagi yang mendengar ucapan tersebut hendaklah menjawabnya dengan kata yarhamukallaah ‎‎(semoga Allah merahmatimu). Lalu yang bersin membalasnya dengan ucapan yahdiikumullaah wa ‎yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu hidayah dan memperbaiki keadaanmu). Demikian ‎menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam sahihnya.‎
Hikmah di Balik Doa Bagi yang Bersin
Dalam kitabnya yang terkenal, Miftaah Daaris Sa’aadah, Ibnul Qayyim mengatakan, orang-orang ‎jahiliyah, biasanya jika mendengar bersin dari orang yang mereka sukai, mereka mengatakan, umran ‎wa syabaaban! (semoga panjang umur dan awet muda). Namun bila yang bersin adalah orang yang ‎mereka benci, mereka mengatakan waryan wa quhaaban! (semoga batuk dan sakit hati). Bila mereka ‎mendengar bersin yang dianggap membawa sial, mereka mengatakan bika, laa bii. Inni as-alullaaha an ‎yaj’ala syu’ma ‘uthaasika bika, laa bii (semoga mengenaimu dan tidak mengenaiku. Aku berharap ‎kepada Allah agar kesialan bersinmu mengenaimu dan tidak mengenaiku).‎
Menurut Ibnul Qayyim, orang jahiliyah menganggap bahwa makin keras bersin yang terdengar, ‎makin besar pula kesialan yang dibawanya. Dikisahkan, seorang raja sedang asyik mengobrol dengan ‎teman bicaranya. Tiba-tiba teman bicara raja bersin dengan keras sekali sehingga membuat raja ‎ketakutan. Raja pun murka kepadanya.‎
Namun temannya berkata, “Demi Allah, ini bukanlah kesengajaan, namun memang seperti itulah ‎bersinku.”‎
‎”Demi Allah, jika engkau tidak bisa mendatangkan saksi bagimu, maka kau akan kubunuh!” kata ‎Sang Raja.‎
‎”Baiklah, izinkan aku keluar menemui orang-orang. Semoga ada di antara mereka yang bersaksi ‎untukku.”‎
Maka Raja menyuruhnya keluar dengan pengawalan sejumlah pasukan. Ia berjumpa dengan ‎seseorang dan langsung bertanya, “Wahai tuanku, kuminta engkau dengan nama Allah. Bila engkau ‎pernah mendengarku bersin, bersaksilah di hadapan Raja.”‎
‎”Baiklah, aku akan bersaksi untukmu,” jawab orang itu. Ia pun berangkat bersamanya dan berkata di ‎hadapan Raja, “Wahai Raja, aku bersaksi bahwa pada suatu hari orang ini pernah bersin hingga gigi ‎gerahamnya lepas satu!”‎
Sang Raja berkata kepada teman bicaranya, “Baiklah kalau begitu. Kembalilah ke majelismu dan ‎lanjutkan pembicaraanmu.”‎
Ibnul Qayyim lantas mengatakan, “Nah, ketika Islam datang, Allah membatalkan semua tradisi ‎jahiliyah yang sesat tadi melalui sunah Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang ‎umatnya untuk beranggapan sial dan mengaitkan kemujuran atau kesialan dengan bersin. Beliau ‎mengajarkan agar doa jelek bagi orang yang bersin diganti dengan doa agar mendapat rahmat. Beliau ‎juga mengajarkan agar yang bersin mendoakan orang yang mendengar bersinnya supaya mendapat ‎hidayah dan keadaan yang baik. Yaitu dengan mengatakan yahdiikumullaahu wa yush-lihu baalakum.‎
Hikmahnya, yang mendengar bersin meninggalkan tradisi jahiliyah dan mengamalkan sunah Nabi ‎dengan mengatakan yarhamukallaah. Ia pantas didoakan agar tetap istiqomah dan mendapat hidayah ‎serta diperbaiki keadaannya. Ini merupakan doa agar Allah memperbaiki seluruh keadaannya. Baik di ‎dunia maupun di akhirat. Jadi, doa yang terakhir ini merupakan rasa syukur terhadap saudaranya se-‎Islam yang telah mendoakan rahmat baginya.‎
Jadi, sangat tepat bila yang bersin kembali mendoakan saudaranya agar Allah memperbaiki ‎keadaannya,” lanjut Ibnul Qayyim.‎
Bagaimana Jika Lupa Membaca “Hamdalah”
Menurut Ibnul Qayyim, tidak perlu diingatkan, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak ‎mengingatkan orang yang bersin di samping beliau, lalu tidak membaca hamdalah. Sedangkan ‎menurut Imam Nawawi, perlu diingatkan. Sebab termasuk tolong-menolong dalam kebajikan.‎
Adapun Imam Ahmad bin Hambal memiliki cara unik dalam hal ini. Dikisahkan oleh Al-Marudzi, ‎ada seseorang yang bersin di samping Imam Ahmad, namun tidak mengucap hamdalah. Imam Ahmad ‎tetap menunggunya agar mengucap hamdalah supaya beliau bisa menjawabnya. Ketika orang itu ‎hendak bangkit, beliau bertanya, “Apa yang kau ucapankan bila dirimu bersin?”‎
‎”Alhamdulillah,” jawab orang itu.‎
Imam Ahmad pun menukas, “Yarhamukallaah.”‎
Bagaimana Bila Ia Bersin Berulang Kali?‎
Jika yang bersangkutan telah bersin berkali-kali, dan ia selalu mengatakan alhamdulillah, maka yang ‎mendengar wajib menjawab yarhamukallah sebanyak tiga kali. Adapun bila ia bersin lagi, maka ‎cukuplah dijawab anta mazkuum (engkau sedang flu), sebagaimana dalam hadis sahih riwayat ‎Tirmidzi. Imam Tirmidzi lantas menjelaskan, sebagian perawi hadis ini mengatakan bahwa ungkapan ‎anta mazkuum diucapkan saat mendengar bersin yang ketiga, dan sebagian lainnya menempatkannya ‎pada bersin yang keempat. Intinya, yang menjadi ukuran ialah berapa kali ia mengucap hamdalah, dan ‎bukan berapa kali ia bersin. Demikian menurut Imam Ahmad sebagaimana yang dinukil oleh ‎Syaikhul Islam.‎
Wallaahu ta’ala a’lam.
Sholat Ta'nis
Mengenai shalat ta’nis, nama lengkapnya shalat ta’nis al-qabr [arab: صلاة تأنيس القبر]. Ta’nis artinya menjadikan sesuatu tidak asing. Ta’nisul qabr berarti membuat kuburan menjadi sesuatu yang tidak asing, karena dikirimi dengan pahala dari orang yang masih hidup.
Mengenai tata cara shalat ta’nis, dinyatakan dalam hadis yang diklaim dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
لا يأتي على الميت أشد من الليلة الأولى فارحموا بالصدقة من يموت, فمن لم يجد فليصل ركعتين يقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب مرة وآية الكرسي مرة وألهاكم التكاثر مرة وقل هو الله أحد عشر مرات ويقول بعد السلام: {اللهم إني صليت هذه الصلاة وتعلم ما أريد اللهم ابعث ثوابها إلى قبر فلان ابن فلان} فيبعث الله من ساعته إلى قبره ألف ملك مع كل ملك نور وهدية فيؤنسونه إلى أن ينفخ في الصور.
وورد أن فاعل ذلك له ثواب عظيم منه أن لا يخرج من الدنيا حتى يرى مكانه في الجنة
 Tidak ada kondisi yang lebih berat bagi mayit selain malam pertama. Karena itu, kasih sayangi dia dengan sedekah atas nama yang telah meninggal. Siapa yang tidak memiliki harta untuk disedekahkan, hendaknya dia shalat 2 rakaat, setiap rakaat membaca al-Fatihah sekali, ayat kursi sekali, surat at-Takatsur sekali, dan al-Ikhlas 11 kali. Lalu setelah salam dia berdoa: Ya Allah aku melakukan shalat ini, dan Engkau mengatahui apa yang aku inginkan. Ya Allah, kirimkanlah pahala shalat ini ke kuburan Fulan bin Fulan.
Seketika itu, Allah akan mengutus 1000 Malaikat ke kuburannya. Setiap malaikat membawa cahaya dan hadiah, sehingga membuat mayit betah di kuburannya, hingga kiamat.
Kemudian disebutkan dalam riwayat bahwa orang yang melakukan amal ini, dia mendapat pahala sangat besar dari Allah, sehingga tidaklah dia meninggalkan dunia, kecuali dia bisa melihat tempatnya di surga.
Status Hadis
Para ulama sepakat bahwa teks di atas sama sekali bukan hadis. Teks di atas hanyalah khayalan orang sufi, kemudian dia memalsu hadis. Andapun jika mencari hadis ini, tidak akan ketemu di kitab hadis manapun. Karena itu, buku yang menyebutkan hadis anjuran shalat ta’nis, sama sekali tidak menyebutkan sumbernya.
Dalam kumpulan fatwa Lembaga Fatawa Syabakah Islamiyah – Qatar dinyatakan,
وهذا الحديث المذكور في السؤال لم نطلع عليه من قبل ولم نجده بعد البحث في دواوين السنة وعلامة الوضع ظاهرة عليه وهي ترتيب أجر عظيم جدا مقابل عمل قليل
Hadis yang disebutkan dalam pertanyaan (shalat ta’nis), sebelumnya belum pernah kami dengar dan belum kita jumpai setelah kami melakukan pencarian di buku-buku hadis. Sementara ciri khas hadis palsu sangat nampak di dalamnya. Yaitu adanya pahala yang sangat besar sekali untuk satu amal yang sedikit. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 111303)

Bolehkah Mengamalkan Shalat Ta’nis?

Ada beberapa pertimbangan untuk mengamalkan shalat ini,
Pertama, masalah mengirim pahala shalat.
Para ulama dari berbagai madzhab termasuk syafiiyah menegaskan bahwa amal ibadah maliyah, seperti sedekah, atau zakat, pahalanya bisa dikirimkan ke mayit.
Sementara ibadah murni amaliyah, seperti shalat atau bacaan al-Quran, Imam as-Syafii dan ulama syafiiyah menegaskan pahalanya tidak sampai ke mayit. Mereka berdalil dengan firman Allah,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
”Manusia tidak mendapatkan pahala kecuali dari apa yang dia kerjakan.” (QS. An-Najm: 39).
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir – salah satu ulama syafiiyah – menjelaskan,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم؛ ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه، ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماء، ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة، رضي الله عنهم
Berdasarkan ayat yang mulia ini, Imam as-Syafii rahimahullah dan orang-orang yang mengikuti beliau menyimpulkan bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran, tidak sampai ke mayit. Karena pahala ini bukan amal mereka dan bukan dari usaha mereka. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya dan tidak memotivasi mereka untuk menghadiahkan pahala amal. Tidak pernah beliau mengajarkan hal itu, baik dengan kalimat tegas maupun isyarat. Dan tidak pula diriwayatkan dari seorangpun sahabat radhiyallahu ‘anhum. (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 7/465).
Kedua, Kita meyakini bahwa manusia terbaik adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Dan mereka sangat antusias untuk melakukan amal kebajikan. Terlebih yang pahalanya sangat besar.
Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, shalat ta’nis memiliki pahala sangat besar. Hingga orang yang pernah melakukannya, bisa melihat tempatnya di surga sebelum mati.
Seharusnya, jika amal ini memiliki pahala yang sangat besar, tentu para sahabat dan tabiin, serta orang soleh masa silam akan berlomba-lomba melakukannya. Akan tetapi, tidak kita jumpai satupun riwayat dari mereka yang melakukan hal itu. Bahkan tidak pernah kita jumpai dalam buku-buku fikih yang mu’tabar (dijadikan referensi). Anda bisa buka buku fikih apapun karya ulama yang mu’tabar, dijamin tidak akan menjumpai shalat seperti ini.
Ini membuktikan bahwa shalat semacam ini bukan bagian dari ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allahu a’lam.

Kamis, 29 Mei 2014

Mungkinkah Doa Orang Kafir Dikabulkan Allah?

Apakah doa orang kafir dikabulkan oleh Allah? Karena terkadang mereka meminta yg mereka butuhnya dlm kehidupan dunia. Trim’s
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, ulama berbeda pendapat tentang status doa orang kafir, apakah mungkin dikabulkan oleh Allah ataukah tidak mungkin dikabulkan, alias sia-sia.
Pendapat pertama menyatakan, doa orang kafir adalah doa sia-sia, yang tidak mungkin dikabulkan oleh Allah. Pendapat pertama ini berdalil,
1. Firman Allah ta’ala,
وَمَا دُعَاء الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ
”Tidak ada doa orang-orang kafir itu, kecuali hanyalah sia-sia belaka.”
Ayat di atas, Allah sebutkan di dua tempat, di surat ar-Ra’du ayat 14 dan surat Ghafir ayat 50.
Ayat ini bermakna umum, karena susunannya mufrad (kata tunggal) yaitu kata [دُعَاء] dan mudhaf (disandarkan) kepada kata makrifat (definitif) yaitu kata [الْكَافِرِينَ]. Sehingga ayat ini dipahami umum, bahwa semua doa orang kafir tidak akan diijabahi oleh Allah.
2. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Diriwayatkan oleh ad-Dhahak bahwa Ibnu Abbas pernah menjelaskan ayat ini,
أي أصوات الكافرين محجوبة عن الله فلا يسمع دعاءهم
”Suara orang kafir itu tertutupi maka tidak sampai kepada Allah. Sehingga doa mereka tidak didengar.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/301).
3. Disamakan dengan orang yang makan yang haram, doanya tidak mustajab. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan orang yang doanya tidak mustajab,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
Kemudian beliau menyebutkan orang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Ya Rabku, ya Rabku”, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini doanya dikabulkan.” (HR. Ahmad 8348, Muslim 1015, dan yang lainnya).
Ibnu Asyura – ulama ahli tafsir bermadzhab Maliki – (w. 1393 H) dalam tafsirnya mengatakan,
وكيف يستجاب دعاء الكافر وقد جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم استبعاد استجابة دعاء المؤمن الذي يأكل الحرام ويلبس الحرام
Bagaimana mungkin doa orang kafir dikabulkan, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mustahil untuk dikabulkannya doa orang mukmin yang makan makanan yang haram, dan memakai pakaian yang haram… (at-Tahrir wa at-Tanwir, 12/454).
4. lebih jauh, Ibnu Asyura juga menegaskan,
”Jika ada doa orang kafir dan cita-cita mereka yang sukses mereka raih, itu bukan karena doa mereka dikabulkan, namun karena Allah mentakdirkan mereka untuk mendapatkan dunia sesuai dengan jatahnya atau doa mereka bertepatan dengan doa orang yang beriman. (at-Tahrir wa at-Tanwir, 12/454).
Selain Ibnu Asyura, diantara ulama yang berpendapat bahwa doa orang kafir tidak akan dikabulkan adalah ar-Ruyani (w. 307 H). Dan karena alasan ini, beliau melarang mengaminkan doa orang kafir.
Imam Umairah menukil keterangan beliau,
قال الشيخ عميرة : قال الروياني: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر ؛ لأنه غير مقبول
Syaikh Umairah menukil, bahwa ar-Ruyani mengatakan, ‘Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak dikabulkan.’ (Hasyiyah al-Jamal, 3/576).
Pendapat kedua, doa orang kafir mungkin saja dikabulkan oleh Allah. Diantara dalil yang digunakan pendapat ini,
1. Inti doa adalah permohonan. Dan Allah kuasa untuk mengabulkan permohonan siapapun yang Dia kehendaki. Baik muslim maupun kafir. Karena Dia Pencipta dan Pengatur seluruh makhluk-Nya. Sehingga bukan hal mustahil, ketika Allah mengabulkan doa mereka tanpa pandang status agama, dan itu bagian dari pengaturan Allah kepada makhluk-Nya.
Syaikhul Islam menjelaskan,
وأما إجابة السائلين فعام فإن الله يجيب دعوة المضطر ودعوة المظلوم وإن كان كافرا
Mengabulkan permintaan orang yang berdoa, sifatnya umum. Karena Allah mengabulkan doa orang yang terjepit masalah, dan doa orang yang didzalimi, meskipun dia orang kafir. (Majmu’ Fatawa, 1/223)
2. Iblis yang merupakan gembong para musuh Allah pernah meminta kepada Allah dan permintaannya dikabulkan. Setelah Iblis dicap kafir dan diusir dari surga, dia meminta kepada Allah,
.{قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ {34} وَإِنَّ عَلَيْكَ الْلَّعْنَةَ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ {35} قَالَ رَبِّ فَأَنظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ {36} قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنظَرِينَ {37} إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ {38}
Allah berfirman: “Keluarlah dari surga, karena Sesungguhnya kamu terkutuk, (34 ) dan Sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”. (35 ) berkata Iblis: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) Maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan, (36 ) Allah berfirman: “(Kalau begitu) Maka Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang diberi tangguh, ( 37) Sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan.”(38) (QS. Al-Hijr: 34 – 38)
Ketika menyebutkan keterangan ar-Ruyani yang mengatakan bahwa doa orang kafir tidak maqbul, beliau memberikan kritik,
ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس
”Pendapat ini bisa dibantah, bahwa mungkin saja, doa orang kafir itu dikabulkan sebagai bentuk istidraj (ditangguhkan), sebagaimana permintaan iblis dikabulkan.” (Hasyiyah al-Jamal, 3/576).
3. Allah menceritakan dalam al-Quran bahwa Allah mengabulkan doa orang kafir yang dihimpit ketakutan oleh gelombang lautan,
قُلْ مَن يُنَجِّيكُم مِّنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضُرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ {63} قُلِ اللهُ يُنَجِّيكُم مِّنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ أَنتُمْ تُشْرِكُونَ {64
Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan: “Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan Kami dari (bencana) ini, tentulah Kami menjadi orang-orang yang bersyukur”. (63 ) Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan-Nya.”(64) (QS. Al-An’am: 63 – 64).
Di ayat lain, Allah berfirman,
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
Apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Allah; Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah) (QS. Al-Ankabut: 65)
Al-Alusi (w. ) menjelaskan dalam tafsirnya,
أن الكافر قد يقع في الدنيا ما يدعو به ويطلبه من الله تعالى أثر دعائه كما يشهد بذلك آيات كثيرة
Terkadang, doa dan permintaan yang dipanjatkan orang kafir kepada Allah ketika di dunia, ada pengaruhnya. Sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam banyak ayat. (Ruh al-Ma’ani, 24/76).
4. Sedangkan ayat yang menjadi dalil di atas,
وَمَا دُعَاء الْكَافِرِينَ إِلاَّ فِي ضَلاَلٍ
”Tidak ada doa orang-orang kafir itu, kecuali hanyalah sia-sia belaka.”
Ayat ini tidak ada hubungannya dengan doa dan permohonan orang kafir kepada Allah ketika di dunia. karena konteks ayat ini sama sekali tidak menunjukkan doa mereka kepada Allah ketika di dunia.
Ayat ini disebutkan di dua tempat:
Di surat ar-Ra’du ayat 14, ayat selengkapnya,
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلَّا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat mengabulkan apapun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membuka kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.
Kita bisa perhatikan, ayat ini berbicara tentang perumpamaan doa dan ibadah orang kafir kepada berhala mereka, yang sama sekali tidak akan memberikan manfaat bagi mereka. Layaknya orang yang kehausan, ingin minum, namun setiap kali mengambil air dengan tangannya, air itu jatuh dan jatuh. Inilah tafsir yang disampaikan Ibnu Katsir. Beliau mengatakan,
فكذلك هؤلاء المشركون الذين يعبدون مع الله إلها غيره، لا ينتفعون بهم أبدا في الدنيا ولا في الآخرة ولهذا قال: وما دعاء الكافرين إلا في ضلال
Demikian pula orang-orang musyrik yang beribadah kepada tuhan selain Allah, sama sekali tidak memberi manfaat bagi mereka ketika di dunia, tidak pula di akhirat. Karena itu, Allah menegaskan, ”doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/446).
Di surat Ghafir ayat 50, ayat selengkapnya,
وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ ( ) قَالُوا أَوَلَمْ تَكُ تَأْتِيكُمْ رُسُلُكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا بَلَى قَالُوا فَادْعُوا وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahannam: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan azab dari Kami barang sehari”. ( ) penjaga Jahannam berkata: “Dan Apakah belum datang kepada kamu rasul-rasulmu dengan membawa keterangan-keterangan?” mereka menjawab: “Benar, sudah datang”. penjaga-penjaga Jahannam berkata: “Berdoalah kamu”. dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.
Konteks ayat ini berbicara tentang keadaan orang kafir ketika di neraka. Mereka selalu memohon kepada Allah melalui penjaga neraka, agar mereka diringankan siksanya. Namun harapan mereka pupus, karena waktunya sudah terlambat. Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.
Makna inilah yang lebih mendekati untuk memahami keterangan Ibnu Abbas, bahwa doa orang kafir itu mahjub (tertutupi), sehingga tidak sampai kepada Allah. Itulah harapan dan doa mereka di hari kiamat.
Memahami keterangan di atas, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang menyatakan, doa orang kafir mungkin saja dikabulkan oleh Allah. Karena Dia Maha Kuasa untuk memberikan keinginan makhluk-Nya sesuai apa yang Dia kehendaki.
Syaikhul Islam mengatakan,
والخلق كلهم يسألون الله مؤمنهم وكافرهم وقد يجيب الله دعاء الكفار فإن الكفار يسألون الله الرزق فيرزقهم ويسقيهم وإذا مسهم الضر في البحر ضل من يدعون إلا إياه فلما نجاهم إلى البر أعرضوا
Semua makhluk meminta kepada Allah, yang mukmin maupun yang kafir. Terkadang Allah mengabulkan doa orang kafir. Karena orang kafir juga meminta rizki kepada Allah, kemudian Allah beri mereka rizki dan Allah beri mereka minum. Ketika mereka dalam keadaan terjepit pada saat di laut, mereka hanya berdoa kepada Allah. Tatkala Allah selamatkan mereka ke daratan, mereka berpaling.. (Majmu’ Fatawa, 1/206).
Kedua, catatan yang penting diperhatikan, bahwa dikabulkannya doa orang kafir oleh Allah ketika di dunia, sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa Allah merestui keyakinannya atau setuju dengan kekufuran mereka. Karena dikabulkannya doa bagi orang mukmin adalah rahmat dari Allah, dan dikabulkannya doa orang kafir bagian dari istidraj (diberi kenikmatan agar semakin kafir. Orang jawa menyebutnya ’diujo’).
Ibnul Qoyim mengatakan,
فليس كل من أجاب الله دعاءه يكون راضيا عنه ولا محبا له ولا راضيا بفعله فإنه يجيب البر والفاجر والمؤمن والكافر
Tidak semua orang yang Allah kabulkan doanya, bisa menjadi bukti bahwa Allah meridhainya, tidak pula mencintainya, tidak pula Allah meridhai perbuatannya. Karena orang jabaik maupun orang jahat, orang mukmin maupun kafir, mungkin saja doa dikabulkan. (Ighatsah al-Lahafan, hlm. 215).
Lalu bagaimana hukum mengaminkan doa orang kafir, insyaa Allah akan ada pembahasan tersendiri.
Allahu a’lam

Mengaminkan Doa Orang Kafir

Bolehkah mengaminkan doa orang non muslim? Misalnya mereka mengucapkan di samping kita, semoga kamu cepet lulus?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, ulama berbeda pendapat tentang status doa orang kafir. Mungkinkah doa mereka dikabulkan?
Sebagian ulama menyatakan doa mereka mungkin saja dikabulkan dan ada yang menyatakan, doa orang kafir tidak mungkin dikabulkan. Dan kami menguatkan pendapat bahwa doa orang kafir mungkin saja dikabulkan di dunia, bukan karena Allah menyayangi mereka, namun sebagai penundaan atas hukuman yang Allah berikan kepada mereka.
Kajian tentang ini telah kita bahas di Mungkinkah Doa Orang Kafir Dikabulkan?
Kedua, para ulama yang berpendapat doa orang kafir tidak mungkin dikabulkan, mereka menegaskan tidak boleh mengamini doa orang kafir. Karena percuma mengamini doa mereka, sementara bisa dipastikan bahwa Allah tidak akan mengabulkannya.
Imam Umairah menukil keterangan ar-Ruyani (w. 307 H), yang melarang mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak mungkin dikabulkan.
قال الشيخ عميرة : قال الروياني: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر ؛ لأنه غير مقبول
Syaikh Umairah menukil, bahwa ar-Ruyani mengatakan, ‘Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak dikabulkan.’ (Hasyiyah al-Jamal, 3/576).
Ketiga, sebagian ulama yang berpendapat bahwa doa orang kafir mungkin dikabulkan, memberikan rincian untuk hukum mengaminkan doa orang kafir.
Jika mengaminkan doa orang kafir ini dianggap sebagai penghormatan kepada orang kafir, atau menimbulkan salah paham di tengah orang awam agama, sehingga menganggap apa yang dilakukan orang kafir itu benar, maka dalam kondisi ini mengaminkan doa mereka dilarang.
Dalam Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj dinyatakan,
ولو قيل : وجه الحرمة أن في التأمين على دعائه تعظيما له وتغريرا للعامة بحسن طريقته لكان حسنا
”Jika ada orang beralasan, pertimbangan terlarangnya mengaminkan doa orang kafir karena mengagungkan orang kafir atau menimbulkan salah paham orang awam sehingga menilai ibadah mereka benar, tentu ini alasan yang bisa diterima. (Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj, 7/473).
Jika doa yang mereka baca tidak bisa kita pahami maknanya, misalnya dengan menggunakan bahasa Ibrani atau bahasa sansekerta seperti yang dilakukan orang hindu, atau berupa bacaan mantra yang kita tidak memahaminya, atau isi doanya adalah doa keburukan, maka dilarang untuk mengaminkannya.
Jika doa yang diucapkan orang kafir adalah doa kebaikan atau doa agar dirinya mendapat hidayah, atau mendoakan kaum muslimin agar mendapatkan kemenangan, maka boleh mengaminkannya.
Keterangan al-Adzru’i yang dinukil dalam Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj,
ثم رأيت الأذرعي قال : إطلاقه بعيد ، والوجه جواز التأمين بل ندبه إذا دعا لنفسه بالهداية ولنا بالنصر مثلا ومنعه إذا جهل ما يدعو به ؛ لأنه قد يدعو بإثم أي بل هو الظاهر من حاله.
”Kemudian saya pernah melihat al-Adzru’i mengatakan, ’Menilai semua doa orang kafir tidak boleh diaminkan, terlalu jauh. Terdapat pendapat bahwa boleh mengaminkan doa orang kafir, bahwa dianjurkan, jika doa yang mereka panjatkan adalah permohonan hidayah untuk dirinya, atau doa permohonan pertolongan untuk kita (kaum mukminin). Dan dilarang apabila kita tidak mengetahui apa yang mereka doakan, karena bisa jadi dia memanjatkan doa yang isinya dosa. Bahkan itu yang paling mungkin terjadi, melihat latar belakang agamanya. (Hasyiyah Nihayah al-Muhtaj, 7/473).
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
ويجوز التأمين على دعاء الكافر لنفسه بالهداية وللمؤمنين بالنصرة ونحوه؛ بل يجوز الدعاء للكافر الذمي بالشفاء والصحة كما نص على ذلك جمع من أهل العلم، وإنما الحرام الدعاء له بالمغفرة لقول الله تعالى: مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Boleh mengaminkan doa orang kafir untuk dirinya agar mendapatkan hidayah. Atau doa orang kafir untuk kaum mukminin agar mereka mendapat pertolongan atau semacamnya. Bahkan boleh mendoakan kebaikan untuk orang kafir Dzimmi agar mereka mendapatkan kesembuhan atau kesehatan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh sekelompok ulama. Yang dilarang adalah mendoakan orang non muslim dengan doa ampunan. Berdasarkan firman Allah,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah: 113)
Sumber: Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 29836
Demikian,
Allahu a’lam.

Istriku Pernah Berzina

Pertanyaan :
Istri saya mengakui bahwa dia pernah berzina sebelum nikah, apa yg saya harus lakukan ustad ? Saya sakit setelah mendengar kabar ini.
Apakah saya berhak mengambil mahar saya karena di akad nikah tertulis bahwa dia perawan tpi ternyata tidak …mohon jawabannya ustad.
Dari Sdr. Abd
Jawaban:
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Pertama, islam memotivasi kepada siapapun yang pernah melakukan dosa terkait dengan hak Allah, agar merahasiakan dosa itu dan dia selesaikan antara dia dengan Allah. Dia bertaubat menyesali perbuatannya, tanpa harus menceritakan dosanya kepada siapapun. Termasuk kepada manusia terdekatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 3048 dan al-Baihaqi dalam Sunan as-Sughra, 2719).
Karena yang lebih penting dalam pelanggaran ini, bagaimana dia segera bertaubat dan memperbaiki diri, tanpa harus mempermalukan dirinya di hadapan orang lain. karena ini justru menjadi masalah baru.
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang suami yang menikahi gadis. Di malam pertama, ternyata suami merasa istrinya tidak perawan. Salah satu bagian penjelasan beliau,
فإذا ادَّعت أنَّها زالت البكارة في أمر غير الفاحشة : فلا حرج عليه ، أو بالفاحشة ولكنها ذكرت له أنها مغصوبة ومكرهة : فإن هذا لا يضره أيضاً ، إذا كانت قد مضى عليها حيضة بعد الحادث ، أو ذكرت أنها تابت وندمت ، وأن هذا فعلته في حال سفهها وجهلها ثم تابت وندمت : فإنه لا يضره ، ولا ينبغي أن يشيع ذلك ، بل ينبغي أن يستر عليها ، فإن غلب على ظنه صدقها واستقامتها : أبقاها ، وإلا طلقها مع الستر ، وعدم إظهار ما يسبب الفتنة والشرّ .
Jika istri mengaku bahwa keperawanannya hilang BUKAN karena hubungan badan, maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya. Atau karena hubungan badan, namun sang istri mengaku dia diperkosa atau dipaksa, maka suami tidak masalah mempertahankan istrinya, jika istri sudah mengalami haid sekali setelah kejadian itu sebelum dia menikah.
Atau dia mengaku telah bertaubat dan menyesali perbuatannya, dan dia pernah melakukan zina ini ketika dia masih bodoh, dan sekarang sudah bertaubat, tidak masalah bagi suami untuk mempertahankannya. Dan tidak selayaknya hal itu disebar luaskan, sebaliknya, selayaknya dirahasiakan. Jika suami yakin sang istri telah jujur dan dia orang baik, bisa dia pertahankan. Jika tidak, suami bisa menceraikannya dengan tetap merahasiakan apa yang dialami istrinya. Tidak membeberkannya yang itu bisa menyebabkan terjadinya fitnah dan keburukan.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/2864
Kedua, apabila sebelum menikah suami mempersyaratkan istrinya harus perawan, ternyata setelah menikah sang istri tidak perawan, maka pihak suami berhak untuk membatalkan pernikahan.
Syaikhul Islam menjelaskan,
لو شرط أحد الزوجين في الآخر صفةً مقصودة ، كالمال ، والجمال ، والبكارة ، ونحو ذلك : صح ذلك ، وملك المشترِط الفسخ عند فواته في أصح الروايتين عن أحمد ، وأصح وجهي الشافعي ، وظاهر مذهب مالك
Apabila salah satu pasangan mengajukan syarat berupa kriteria tertentu kepada calonnya, seperti suami berharta, kecantikan, atau perawan atau semacamnya, maka syarat ini sah. Dan pihak yang mengajukan syarat berhak membatalkan pernikahan ketika syarat itu tidak terpenuhi, menurut riwayat yang lebih kuat dari Imam Ahmad dan pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafii, serta itulah yang kuat dari pendapat Imam Malik. (Majmu’ Fatawa, 29/175).

Bagaimana dengan Mahar?

Jika pembatalan nikah ini sebelum terjadi hubungan badan, maka mahar dikembalikan. Namun jika telah terjadi hubungan, ada rincian:
Jika yang menipu pihak wanita, dia mengaku perawan padahal tidak perawan, maka dia wajib mengembalikan maharnya.
Jika yang menipu pihak wali, atau orang lain yang menjadi perantara baginya, maka dia yang bertanggung jawab mengembalikan maharnya.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
إذا اشترط السلامة ، أو شرط الجمال : فبانت شوهاء ، أو شرطها شابة حديثة السن : فبانت عجوزاً شمطاء ، أو شرطها بيضاء : فبانت سوداء ، أو بكراً : فبانت ثيِّباً : فله الفسخ في ذلك كله .
فإن كان قبل الدخول : فلا مهر لها ، وإن كان بعده : فلها المهر ، وهو غُرم على وليِّها إن كان غرَّه ، وإن كانت هي الغارَّة سقط مهرها
Jika pihak suami mengajukan syarat, harus sehat tidak cacat, atau harus cantik, tapi ternyata jelek, atau harus masih muda, tapi ternyata sudah tua keriputan, atau harus putih, tapi ternyata hitam, atau harus perawan, tapi ternyata janda, maka pihak suami berhak membatalkan pernikahan. Jika pembatalan terjadi sebelum hubungan badan, istri tidak berhak mendapat mahar. Jika setelah hubungan, istri berhak mendapat mahar. Sementara tanggungan mengembalikan mahar menjadi tanggung jawab walinya, jika dia yang menipu suami. Namun jika istri yang menipu, gugur hak mahar untuknya (Zadul Ma’ad, 5/163).
Ketiga, apabila sebelum menikah, suami TIDAK mempersyaratkan istrinya harus perawan, maka dia tidak memiliki hak untuk membatalkan akad.
Ibnul Qoyim menjelaskan kapan seorang suami berhak membatalkan akad nikah, jika sebelumnya dia tidak mempersyaratkan apapun.
رواية رويت عن عمر رضي الله عنه : لا ترد النساء إلا من العيوب الأربعة : الجنون والجذام والبرص والداء في الفرج وهذه الرواية لا نعلم لها إسنادا أكثر من أصبغ عن ابن وهب عن عمر… هذا كله إذا أطلق الزوج
Satu riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu: Wanita tidak dikembalikan (ke ortunya) kecuali karena 4 jenis cacat: gila, kusta, lepra, dan penyakit di kemaluan. Riwayat ini tidak saya ketahui sanadnya selain dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari Umar…. aturan ini berlaku jika pihak suami tidak mengajukan syarat apapun. (Zadul Ma’ad, 5/163).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
المعروف عند الفقهاء : أن الإنسان إذا تزوج امرأة على أنها بكر ، ولم يشترط أن تكون بكراً : فإنه لا خيار له ؛ وذلك لأن البكارة قد تزول بعبث المرأة بنفسها ، أو بقفزة قوية تُمَزِّق البكارة ، أو بإكراه على زنا ، فما دام هذا الاحتمال وارداً : فإنه لا فسخ للرجل إذا وجدها غير بكر. أما إذا اشترط أن تكون بكراً : فإن وجدها غير بكر : فله الخيار
Yang makruf di kalangan ulama, bahwa ketika seorang lelaki menikahi wanita yang dia anggap masih gadis, sementara dia tidak mempersyaratkan harus gadis, maka pihak suami tidak memiliki hak untuk membatalkan pernikahan. Karena kegadisannya bisa saja hilang karena si wanita main-main dengan organ pribadinya, atau karena dia melompat sehingga merobek keperawanannya, atau diperkosa. Selama semua kemungkinan ini ada, pihak suami tidak berhak membatalkan pernikahan, ketika dia menjumpai istrinya tidak perawan.
Namun jika pihak suami mempersyaratkan harus perawan, kemudian ternyata istrinya tidak perawan, maka suami punya pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan nikah.
(Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 67, no. 13).
Demikian pembahasan rincian hukumnya.
Hanya saja, kami menasehatkan, agar pihak suami tetap mempertahankan istrinya dan merahasiakan apa yang dialami istrinya, jika dia sudah benar-benar bertaubat dengan serius dan istiqamah menjadi wanita yang sholihah.
Dan jika anda telah menerimanya, lupakan masa silamnya, dan tidak diungkit lagi, terutama ketika terjadi pertengkaran rumah tangga. Dalam hadis dinyatakan,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, layaknya orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, al-Baihaqi dalam al-Kubro 20561, dan dihasankan al-Albani).
Karena dia sudah bertaubat dengan serius, maka dia dianggap seperti orang yang tidak pernah melakukannya.
Sekalipun suami merasa sedih atau bahkan murka, namun ingat, semuanya tidak akan disia-siakan oleh Allah. Kesabarannya atas kesedihannya atau amarahnya akan menghapuskan dosanya.
Allahu a’lam.

Translate